Kamis, 17 Maret 2011

ETNOPOLITIC CONFLICT

ETNOPOLITIC CONFLICT , SPARATISME, DAN MASALAH INTEGRASI NASIONAL

 
 

Oleh: Dahrun Usman, S. Sos

(Antropolog yang aktif dalam kegiatan Social and Culture Research, sedang menjadi anggota konsultan BAPPEDA kota Bandung untuk riset evaluasi PROPEDA tahun 2000-2004, juga Direktur Pusaka Jatinangor)

 Prolog

Masalah integrasi dan sparatisme dalam negara kesatuan yang multietnik dan struktur masyarakatnya majemuk, seperti "srigala berbulu domba" atau penuh ambivalensi (ambigu). Perfomancenya menampakan sebuah keseimbangan (equillibrium) diantara struktur sosial, politik, dan kebudayaannya, tetapi isinya penuh dengan intrik, ketidakpuasan, paradoks, etnosentrisme, stereotipisme, dan konflik sosial yang tidak kunjung selesai. Devid Lockwood telah memperingatkan kita, betapa konsensus dan konflik merupakan dua sisi dari suatu kenyataan yang sama; konsensus dan konflik adalah dua gejala yang melekat secara bersama-sama di dalam masyarakat. Sejarah memberi fakta pada kita semua, India negara yang merdeka pada tahun 1948 selalu dirundung oleh konflik antar etnik, pada akhir tahun 40-an gerakan sparatisme di India menyebabkan terjadinya skisme negara ini dengan bedirinya negara baru bernama Pakistan. Bahkan sampai sekarang India masih menyisakan gerakan sparatis, yaitu etnik Khasmir yang ingin menjadi negara merdeka. Kita juga masih ingat hancurnya negara Yugoslavia di Balkan (Eropa Timur), yang melahirkan pertikaian sengit antar etnik; Zerbia-Bosnia Herzegovina. Afganistan selalu diselimuti oleh asap mesiu dan darah rakyatnya akibat perang saudara (antar etnik) yang tiada hentinya, etnik Pasthun, Usdek, dan yang lainnya saling berebut kekuasaan dan hegemoni kultural. Bahkan negara kecil macam Sri Lanka pun tidak lepas dari rongrongan sparatisme etnik Tamil lewat LTTE-nya yang merasa didiskreditkan dalam peran sosiopolitiknya oleh etnik mayoritas Sinhala. Dan, terkhir adalah gerakan sparatisme yang melahirkan perang antar etnik di benua hitam Afrika di negara miskin bernama Liberia.

Demikian juga Indonesia, negara keempat terbesar di dunia dan masyarakatnya paling plural ini selalu dihantui oleh gerakan sparatisme. Struktur masyarakat Indonesia yang ditandai oleh heterogenitas etnik dan bersifat unik. Secara horisontal ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat istiadat, dan primordialisme. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan vertikal antara lapisan-lapisan atas dan lapisan bawah. Sejak kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, NKRI selalu dirongrong oleh gerakan sparatisme; masih tertulis dalam benak sejarah kita, gerakan sparatis DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat, Permesta Kahar Muzakar di Sumatera, APRA, PKI, DI/TII Daud Barureh di Aceh, dan RMS di Maluku yang menyisakan luka lama. Bahkan sampai sekarang gerakan itu masih terus berlangsung di Aceh lewat GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di propinsi paling timur di Indonesia. Pemerintah Indonesia selalu berhadapan dengan gerakan separatisme, sehingga Indonesia mempunyai peluang yang sama seperti Yugoslavia dan Uni Soviet (almarhum) menjadi negara yang pecah akibat ketidakstabilan kondisi sosiokultural dan politik. Samuel Hutingthon1 pernah berkomentar pada akhir abad ke-20, bahwa Indonesia adalah negara yang mempunyai potensi paling besar untuk hancur, setelah Yugoslavia dan Uni Soviet akhir abad ke-20 ini. Demikian juga Cliffrod Gertz Antropolog yang Indonesianis ini pernah mengatakan; kalau bangsa Indonesia tidak pandai-pandai memanajemen keanekaragaman etnik, budaya, dan solidaritas etnik, maka Indonesia akan pecah menjadi negara-negara kecil.

Kerangka Konseptual

Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk (multietnik)2 selalu menimbulkan persoalan integrasi nasional. Pluralitas masayarakat yang bersifat multidimensional itu akan dan telah menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terientegrasi secara horisontal, sementara stratifikasi sosial sebagaimana yang terwujud dalam masyarakat Indonesia akan memberi bentuk integrasi yang bersifat vertikal.3 Beberapa sifat dasar yang selalu dimiliki pada masyarakat majemuk sebagaimana dijelaskan oleh van de Berghe adalah;1). Terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang seringkali memiliki kebudayaan, atau lebih tepat sub-kebudayaan, yang berbeda satu sama lain, 2). Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer, 3). Kurang mengembangkan konsensus diantara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar, 4). Secara relatif seringkali terjadi konflik diantara kelompok yang satu dengan yang lainnya, 5). Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi, dan 6). Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain. Menurut Furnivall masyarakat majemuk (plural society) merupakan suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elmen dan tatanan sosial yang hidup berdampingan tetapi tidak terientegrasi dalam satu kesatuan politik.

Suatu pengembangan konseptual yang lebih memadai tentang konsep masyarakat dikemukakan oleh Robhuska dan Shepsle4yang menyatakan bahwa masyarakat majemuk dapat diidentifikasi melalui;1). Keragaman budaya, 2). Komunitas kultural yang terorganisasi secara politik, dan 3). Alienasi etnik. Oleh karena setiap masyarakat memiliki keragaman kultural, maka dua ciri yang terakhir (politik etnik) inilah yang membedakan antara masyarakat pluralistik (pluralistic society) dengan masyarakat majemuk (plural society). Oleh karena konfigurasi strukturalnya, masyarakat majemuk memiliki dua kecenderungan,1). Inklinasi berkembangnya perilaku konflik di antara berbagai kelompok etnik, dan 2). Kecenderungan hadirnya (force) sebagai kekuatan integratif utama yang mengintegrasikan masyarakat.5

Dengan struktur sosial yang sedemikian komplek, sangat rasional sekali Indonesia selalu menghadapi permasalahan konflik antar etnik, kesenjangan sosial, dan sukar sekali terjadinya integrasi secara permanen. Hambatan demikian semakin nampak dengan jelas, jika diferensiasi sosial berdasarkan parameter suku bangsa jatuh berhimpitan (Coincided) dengan parameter lain (agama, kelas, ekonomi, dan bahasa), sehingga sentimen-sentimen yang bersumber dari parameter sosial yang satu cenderung berkembang saling mengukuhkan dengan sentimen-sentimen yang bersumber dari diferensiasi sosial berdasarkan parameter yang lain. Konsolidasi parameter struktur sosial (Concolidated Social Structure) yang demikian menurut Peter Blau merupakan kendala yang paling besar bagi terciptanya integrasi sosial.6 Sementara itu, secara Antropologis diferensiasi sosial yang melingkupi struktur sosial kemajemukan msyarakat Indonesia adalah; pertama adalah diferensiasi yang disebabkan oleh perbedaan ada istiadat (custome diferentiation) hal ini karena perbedaan etnik, budaya, agama, dan bahasa. Kedua adalah diferensiasi yang disebabkan oleh struktural (strucural diferentiation), hal ini disebabkan oleh kemampuan untuk mengakses ekonomi dan politik sehingga menyebabkan kesenjangan sosial diantara etnik yang berbeda. Pada zaman Hindia-Belanda masyarakat Indonesia digolongkan menjadi tiga golongan oleh antropolog Belanda Furnivall; yaitu golongan penjajah Belanda yang menempati tingkat pertama, kedua adalah golongan minoritas Cina, sedangkan golongan pribumi menempati tingkat yang ketiga.

Terlepas dari pendekatan konsep mana yang penulis gunakan, tapi secara substansi semua konsep yang menjelaskan tentang heteregonitas (kemajemukan) ataupun masyarakat yang plural, pada hakekatnya tidak jauh berbeda (congruent). Pada satu sisi kemajemukan menyimpan kekayaan budaya dan hasanah tentang kehidupan bersama yang harmonis, jika integrasi berjalan dengan baik (menurut aksioma; structural fungsionalism approach). Tetapi pada sisi lain, kemajemukan selalu menyimpan dan menyebabkan terjadinya konflik antar etnik, baik yang bersifat latency maupun yang manifest (dalam aksioma, conflict approach) yang disebabkan oleh etnosentrisme, primordialisme, dan kesenjangan sosial.

Etnopolitic Conflict dan Gerakan Sparatisme

Seperti yang sudah dijelaskan dalam kerangka konseptual, bahwa dalam negara kesatuan yang terdiri dari berbagai suku bangsa (etnik), akan sering menghadapi problem persatuan dan kesatuan. Integrasi masyarakatnya sangat sulit sekali untuk diciptakan secara permanen. Salah satu kasus yang selalu muncul kepermukaan adalah etnopolitic conflict, tindakan ini di wujudkan dalam bentuk gerakan sparatisme yang dilakukan oleh sekelompok etnik. Etnopolitic conflict ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah watak dari pemerintah kesatuan yang terlalu bersifat sentralistik dan hegemonik. Wajah etnopolitic conflict dapat dilihat dari kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Gerakan ini bukan hanya didasarkan oleh ketidakpuasan secara politik saja, tetapi masyarakat Aceh merasa hak-haknya selama ini "direbut" oleh pemerintah pusat. Rakyat Aceh merasa didiskreditkan—sub-ordinasi—seluruh hasil perjuangannya mengusir penjajah Belanda, tidak bisa mengakses seluruh kekayaan alam yang melimpah di dalamnya, sentimen keagamaan yang sangat kuat, primordialitas yang sangat kuat, latar belakang kesejarahan yang sangat kuat dan khas, serta tingginya etnosentrisme rakyat Aceh. Etnosentrisme inilah yang sesungguhnya paling dominan dan selalu melekat pada rakyat Aceh. Etnosentrisme adalah suatu pandangan yang melekat pada diri seseorang (masyarakat) yang menilai kebudayaan-kebudayaan lain, selalu diukur dengan nilai kebudayaannya7. Pandangan ini pada satu sisi menimbulkan watak egosentrisme, stereotipisme, dan primordialisme sempit. Pemupukan sifat seperti ini yang tanpa batas, pada akhirnya akan melahirkan gerakan-gerakan massif atau sparatisme. Gerakan Aceh Merdeka atau Gerakan Separatis Aceh (GSA) adalah gerakan massif yang penuh dengan heroikisme, massifisme, dan emosi keagamaan (religion emotion) yang sangat tinggi. Gerakan ini adalah kelanjutan perlawanan Daud Beureh terhadap ketidakpuasan pemerintah pusat yang tidak mengakomodasi tuntutan masyarakat Aceh pasca kemerdekaannya.

Kita masih ingat gerakan-gerakan milerianisme, mesianic movement, dan cargo cut yang bersumbu pada etnosentriesme, dan berapi pada ketidakpuasan kelompok etnik (suku bangsa) atas berbagai kebijakan ekonomi, sosial, politik, dan keamanan, yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Gerakan-gerakan sparatisme seperti ini dapat kita lihat dari perlawanan Fretillin dan Kota di Timor Timur sejak mereka bergabung dengan NKRI tahun 1976, yang akhirnya berhasil membentuk negara sendiri (Timor Laste) tahun 1998. Gerakan perlawanan suku Amungmo di Abepura terhadap pemerintah pusat sejak Freeport melakukan eksplorasi dan eksploitasi di Irian Jara (papua), mereka mengangkat senjata dengan menyerukan gerakan cargo cut, yaitu sebuah misi suci yang didasarkan pada emosi keagamaan untuk membangkitkan kejayaan masa lampau (nenek moyang). Gerakan ini adalah embrio dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) denga lambang bintang kejoranya. Sentimen primordial kesukuan ini dihidupkan menjadi basis utama artikulasi kepentingan secara politik, karena tersumbatnya komunikasi politik melalui saluran yang ada, sehingga gerakan ini mengartikulasikan kepentingan pilitik dengan berbagai cara8

Etnopolitic conflict yang melahirkan gerakan sparatisme di negara manapun selalu berpangkal kepada persoalan ketidakadilan, kesenjangan, dan perbedaan ideologi. Kita masih ingat faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik antar etnik di Indonesia selama ini, sejak tahun 1995-1996 di Indonesia telah terjadi sebanyak 300 lebih kasus kerusuhan dan konflik sosial yang bernuansa SARA. Dari kasus Tasikmalaya, Ketapang, Sambas, sampai dengan kasus Ambon semua terjadi secara berhimpit dan berpangkal pada permasalahan yang sama. Salah satu penyebabnya adalah adanya mekanisme dampak saring (filtering effect), yaitu suatu dampak yang disebabkan oleh program pembangunan yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang sesuai dengan program pembangunan, sementara mereka yang tidak masuk dalam standar tidak memperolehnya.

Sementara itu segmentasi dalam bentuk terjadinya kesatuan-kesatuan sosial yang terikat ke dalam ikatan-ikatan primordial dengan sub-kebudayaan yang berbeda dengan lainnya sangat mudah sekali melahirkan konflik-konflik sosial. Dalam hal yang seperti ini etnopolitic conflict akan terjadi dalam dua dimensi; dimensi pertama adalah konflik di dalam tingkatan ideologis, konflik ini terwujud didalam bentuk konflik antara sistem nilai yang dianut oleh etnik pendukungnya serta menjadi ideologi dari kesatuan sosial. Dimensi kedua adalah konflik yang terjadi dalam tingkatan politis, pada konflik ini terjadi dalam bentuk pertentangan didalam pembagian status kekuasaan, dan sumber ekonomi yang terbatas dalam masyarakat.9 Hal ini sesuai dengan konsep konflik yang definisikan oleh Lewis Coser, bahwa konflik sesungguhnya adalah usaha untuk memeperebutkan status, kekuasaan, dan sumber-sumber ekonomi yang sifatnya terbatas, pihak-pihak yang berkonflik bukan hanya berniat untuk memperoleh barang yang dimaksud tetapi juga berniat untuk menghancurkan lawannya.10 Dalam kondisi konflik, maka sadar ataupun tidak sadar setiap yang berselisih akan berusaha untuk meningkatkan dan mengabdikan diri dengan cara memperkokoh solidaritas kedalam diantara sesama anggotanya, membentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan untuk keperluan kesejahteraan dan pertahanan bersama;11 mendirikan sekolah untuk memperkuat identitas kultural, meningkatkan sentimenitas etnosentrisme, stereotipisme, keagamaan, dan usaha-usaha lain yang meningkatkan primordialisme.

Dominasi Etnik dan Mekanisme Dampak Saring (Filtering Eeffect)

Perbedaan kesejarahan, geografis, pengetahuan, ekonomi, peranan politik, dan kemampuan untuk mengembangkan potensi kebudayaannya sesuai dengan kaidah yang dimiliki secara optimal sering menimbulkan dominasi etnik dalam struktur sosial maupun struktur politik baik dalam tingkat lokal maupun nasional. Dominasi ini pada akhirnya melahirkan kebudayaan dominan (dominan culture), dan kebudayaan tidak dominan (inferior culture)12, yang pada titik tertentu akan melahirkan konflik antar etnik yang berkepanjangan, antara yang superior dengan yang inferior. Contoh yang paling aktual adalah bagaimana perlawanan dari gerakan sparatis Macan Elam Tamil di Sri Lanka, yang ingin melepaskan diri dari pemerintahan Sri Kumaratunga yang didominasi oleh etnik Sinhala. Etnik mayoritas Sinhala menguasai seluruh akes negara dari bidang ekonomi, pendidikan, militer sampai dengan politik, sehingga etnik Tamil bangkit melawan senjata dalam organisasi LTTE-nya dengan perlawanan yang sangat luar biasa massif selama dua puluh tahun lebih. Dominasi etnik dan kebudayaan, dimanapun dan kapanpun jika dimanfaatkan secara politik untuk kepentingan golongan, bukan untuk bangsa dan negara selalu melahirkan konflik yang bersifat horisontal dan vertikal.

Kebudayaan dominan dalam struktur masyarakat yang majemuk menurut Bruner disebabkan oleh tiga hal; 1). Faktor Demografis, dalam konteks keindonesiaan adalah kesenjangan jumlah penduduk yang sangat timpang antara pulau Jawa dan luar Jawa, padahal luas pulau Jawa hanya seperempat dari luas pulau luar Jawa; sementara 70% penduduknya terkosentrasi di pulau Jawa. Karena itu secara demografis penduduk pulau Jawa lebih dominan jika dibandingkan dengan di pulau luar Jawa. 2). Faktor Politis, hal ini jelas terlihat sekali bagaimana dominasi etnik tertentu –Jawa katakanlah—dalam struktur pemerintahan Indonesia. Akibatnya, banyak sekali kebijakan-kebijakan dari pemerintah pusat cenderung tidak adil, sebab seringkali menguntungkan kelompok golongan tertentu, sehingga menimbulkan ketidakpuasan bagi kelompok (etnik) tertentu. Kemudian, kegagalan mengartikulasi kepentingan politik etnik dan tersumbatnya komunikasi politik menimbulkan perlawanan etnik yang sangat luar biasa kuatnya. 3). Budaya Lokal, pusat pemerintahan RI yang berpusat di pulau Jawa pada akhirnya merangsang tumbuhnya kebudayaan lokal menjadi kebudayaan yang dominan. Hal ini disokong oleh birokrat-birokrat pemerintah dalam bidang ekonomi, pendidikan, politik, dan sosial-keamanan, ketimpangan antara pulau Jawa dan Luar Jawa dari dahulu sudah sangat mengkewatirkan integrasi nasional.

Pada sisi lain usaha pemerintah untuk memeratakan jumlah penduduk di Jawa dan di luar Jawa lewat program Transmigrasi juga menimbulkan banyak persoalan. Ternyata disamping kesulitan untuk beradaptasi dengan kebudayaan lokal, para pendatang dari Jawa juga sering mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah pusat. Para transmigran yang mempunyai tingkat pendidikan lebih baik, lebih mudah untuk merespon pembangunan yang selama ini dijalankan oleh lemerintah RI. Hal ini bisa kita lihat di daerah Sambas, Ambon, Maluku, dan khususnya di Timika Irian Jaya. Dalam kasus di Timika terlihat sangat jelas, bagaimana para penduduk pribumi sangat ketinggalan dalam melakukan kompetisi menerima program pembangunan pemerintah pusat, sehingga dominasi (politik dan ekonomi) dipegang oleh para pendatang. Akibatnya adalah, terjadinya mekanisme dampak saring (filtering effect), sehingga "tetesan ke bawah kue pembangunan" sebagian besar tertahan oleh kelompok pendatang.13Mekanisme dampak saring ini ternyata terjadi hampir di setiap tempat transmigrasi di luar pulau Jawa. Dalam kasus di Abepura, pasar menjadi sasaran utama untuk dihancurkan, karena mereka merasa terpinggirkan oleh para pendatang dalam mengakses kepentingan ekonomi.

Berkobarnya Perang Etnik dan Gerakan Sparatisme

Seandinya pemerintah pusat gagal untuk melaksanakan rekonsiliasi nasional, melakukan komunikasi politik pusat-daerah, mencegah melebarnya mekanisme dampak saring, dan gagal melakukan otonomi (khusus) daerah sesuai dengan aspirasi etnik (masyarakat) yang bersangkutan, maka perang etnik dan gerakan sparatisme akan mencapai puncaknya. Kecurigaan etnik yang bersangkutan—Aceh, Papua, Maluku dan lain-lain—yang bersumber dari sejarah dan hubungan sosial yang timpang selama ini akan menjadi hambatan komunikasi politik antar etnik dengan pemerintah pusat. Keputusan politik yang menguntungkan satu pihak, dan merugikan pihak lain akan menimbulkan konflik etnik yang berkepanjangan. Di lain pihak ketidakpuasan dalam ranah kultural selalu meningkatkan solidaritas politik, primordialisme, etnosentrisme, dan gerakan sparatiems (mesianic movement) pada setiap suku bangsa (etnik). Kehidupan politik yang selalu tidak stabil di pusat, supremasi hukum mati, KKN merajalela dari pusat sampai dengan daerah, kepentingan partai dan golongan lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat, bangsa, dan negara, maka akan semakain menambah gerakan-gerakan sparatisme di Indonesia dan mengancam integrasi nasional. Hal ini semakin diperparah dengan adanya eksploitasi sumber daya alam selama orde baru berkuasa terhadap daerah-daerah di luar Jawa.

Pemerintah NKRI sekarang sedang menghadapi ujian dan beban yang sangat berat menjaga keutuhan wilayahnya. Setelah lepasnya Timor-Timur, maka Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) menjadi kendala pemerintah dalam melakukan rekonsiliasi nasional. Negara Indonesia harus melakukan kaji historis dan kaji ulang tentang bagaimana melakukan integrasi seluruh etnik agar terjadi integrasi yang permanen (tidak semu). Meminjam istilah Furnivall (Shepsle dalam Suharman 1999) bahwa intergrasi sosial yang melibatkan beberapa etnik sebenarnya melalui paksaan (coercion) suatu kelompok yang dominan terhadap kelompok lain yang tidak dominan. Kooptasi berbagai kekuatan politik lokal dilakukan untuk mematahkan berbagai tuntutan yang tidak searah dengan yang dikehendaki oleh pemerintah pusat. Proses ini dilakukan dengan mengembangkan sistem perwakilan kepentingan melalui organisasi fungsional nonideologis, atau proses korporatisme negara (Maso'ed dalam Suharman, 1999; 416)

Epilog

Integrasi adalah proses sosiologis dan antropologis yang tidak bisa dilakukan dan ditempuh dalam waktu yang singkat. Tetapi memerlukan proses pembudayaan dan konsensus sosial politik diantara suku bangsa (etnik) yang ada di dalam negara kesatuan Indonesia. Kalau kita menggunakan pendekatan konflik sebagaimana diilustrasikan oleh Lewis C. Coser dan George Simell, maka kerangka masyarakat yang akan kita dapatkan adalah integrasi yang selalu berada dalam bayang-bayang konflik antar etnik yang berkepanjangan. Kalau kita mengikuti pandangan penganut fungsional struktural dari Auguste Comte, melalui Durkheim sampai dengan Parsons, maka yang akan menjadi faktor mengientegrasikan masyarakat Indonesia tentulah sebuah nilai umum tentang kesepakatan bersama antar masyarakat. Nilai-nilai umum tertentu yang disepakati secara bersama itu tidak hanya disepakati oleh sebagian besar orang (etnik), akan tetapi lebih daripada itu nilai-nilai umum tersebut harus dihayati melalui proses sosialisasi14, akulturasi, asimilasi, dan enkulturasi. Proses ini pernah dibuktikan oleh kesepakatan bersama dalam sumpah pemuda yang menghasilkan nasionalisme dan menyatukan rakyat Indonesia secara sosial dan politik dengan semboyannya; satu tanah air, satu bahasa, dan satu bangsa. Mengikuti pemikiran R. William Liddle, konsensus nasional yang mengintegrasikan masyarakat yang pluralistik pada hakekatnya adalah mempunyai dua tingkatan sebagai prasyarat bagi tumbuhnya suatu integrasi nasional yang tangguh. Kedua syarat itu adalah: 1). Pertama sebagian besar anggota suku bangsa bersepakat tentang batas-batas teritorial dari negara sebagai suatu kehidupan politik dalam mana mereka sebagai warganya.2). Apabila sebagian besar anggota masyarakatnya bersepakat mengenai struktur pemerintahan dan aturan-aturan dari proses politik yang berlaku bagi seluruh masyarakat diatas wilayah negara yang bersangkutan.15 Lebih lanjut Nasikun (1989; 73) menambahkan bahwa integrasi nasional yang kuat dan tangguh hanya akan berkembang diatas konsensus nasional mengenai batas-batas suatu masyarakat politik dan sistem politik yang berlaku seluruh masyarakat tersebut. Kemudian, suatu konsensus nasional mengenai bagaimana suatu kehidupan bersama sebagai bangsa harus diwujudkan atau diselenggarakan, melalui suatu konsensus nasional mengenai "sistem nilai" yang akan mendasari hubungan-hubungan sosial diantara anggota suatu masyarakat negara.16

Sementara itu, menurut Max Weber bahwa sistem nilai merupakan dasar pengesahan (legitimacy) dari struktur kekuasaan (authority) suatu masyarakat, maka konsensus nasional mengenai bagaimana suatu kehidupan bersama sebagai bangsa harus diwujudkan, pada akhirnya akan merupakan konsensus nasional terhadap suatu rezim tertentu yang sedang berkuasa. Dalam konteks Indonesia, maka proses integrasi nasional haruslah berjalan alamiah, sesuai dengan keanekaragaman budayanya dan harus lepas dari hegemoni dan dominasi peran politik etnik tertentu. Proses integrasi harus melalui fase-fase sosial dan politik. Mengikuti alur pemikiran Ogburn dan Nimkof (penganut fungsionalisme struktural) bahwa integrasi merupakan sebuah proses : Akomodasi—kerjasama—koordinasi—asimilasi. Asimilasi ini merupakan proses dua arah (to way process) antara etnik yang berbeda, sehingga diperoleh sebuah konsensus dan kesepahaman atas dasar keanekaragaman budaya. Konsensus nasional mengenai bagaimana kehidupan bangsa Indonesia harus diwujudkan atau diselenggarakan, dan sebagian harus kita temukan didalam proses pertumbuhan pancasila sebagai dasar falsafah atau ideologi negara. Sayang, para elite politik tidak pernah belajar dari sejarah pertumbuhan pancasila, sehingga orientasi mereka bukanlah semata-mata untuk kepentingan persatuan, kesatuan, dan kejayaan bangsa Indonesia. Sehingga mereka tidak pernah memahami budaya politik lokal dan aspirasi budaya lokal, yang mereka utamakan adalah kekuasaan, golongan, partai sebagai "eternal oriented". Akhirnya akses ekonomi dan politik yang seharusnya menjadi milik masyarakat (etnik) terkooptasi oleh mereka, maka kesenjangan dan ketidakpuasan adalah hasil yang kita lihat sekarang ini. Kalau hal ini terus dipelihara, maka KKN, distorsi hukum, konflik antar etnik, sparatisme, dan keterpurukan akan menjadi santapan pagi seluruh rakyat Indonesia. Dan nasib bangsa Indonesia menjadi "almarhum" macam Uni Soviet dan Yugoslavia tinggal menunggu waktu, wallohua'lam bissowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar