ETIKA
Oleh c.m.
Masyarakat di dalam sistem kapitalisme, menganut suatu etika yang hingga hari ini dipercaya sebagai sebuah kebenaran yang tidak mungkin salah. Tetapi orang mengatakan, sejarah adalah milik siapa yang berkuasa, dan kebenaran pun adalah milik orang yang berkuasa. Mari kita lihat, apakah hal ini pun berlaku pada etika masyarakat kapitalis.
***
Adalah merupakan keharusan untuk menghormati hak milik orang lain, karena itu adalah tidak etis untuk mengambil hasil pekerjaan orang lain, terlebih lagi merampasnya. Berdasarkan hal itu, maka cita-cita sosialisme untuk mengambil alih modal, menjadikannya milik bersama, dan menguasainya bersama-sama adalah tidak etis.
Tetapi pada kenyataannya, siapakah yang justru melakukan kerja secara nyata? Siapakah yang - sejak awal berdirinya kapitalisme - menghasilkan barang dan jasa untuk dijual yang kemudian menghasilkan nilai lebih (profit) dan setelah itu menjelma kembali menjadi modal? Jelas yang melakukannya adalah kaum buruh, bukan para pemilik modal, yang justru selama ini mengambil alih hasil dari pekerjaan itu.
Adalah tidak etis bagi kaum buruh untuk melakukan demonstrasi atau mogok kerja. Pemilik modal dan penguasa selalu menganggapnya sebagai tidak bermoral dan berbagai macam cap lainnya. Mereka akan menawarkan dialog, dengan berbagai macam embel-embel jalan demokratis, dan kutukan-kutukan terhadap tindakan demonstrasi dan mogok kerja.
Namun, bukanlah sebuah masalah bagi pemilik modal dan penguasa, jika perusahaan melakukan PHK massal, jika pada akhirnya demonstrasi dan mogok kerja dihadapi dengan kekerasan oleh aparat keamanan, jika pihak perusahaan secara rahasia menyewa preman untuk "mengurusi" aktivis-aktivis buruh, jika sering terjadi pelecehan seksual terhadap kaum buruh perempuan, dan berbagai macam jika lainnya. Demonstrasi dan mogok kerja tidak akan diizinkan, karena produksi akan terhenti, yang berarti keuntungan akan berkurang. Tidak ada apapun yang dipedulikan oleh pemilik modal kecuali keuntungan.
Pemerintah yang berkuasa sering melakukan penggusuran, entah itu rumah-rumah kumuh, becak, atau perkampungan nelayan. Ada berbagai macam "alasan etis" yang melatarbelakanginya. Terutama terhadap rumah-rumah kumuh yang berdiri di atas tanah milik orang lain, sering dianggap sudah sewajarnya dilakukan penggusuran. Terlihatlah di sini, perumahan yang layak memang hanya diperuntukkan bagi yang mempunyai uang. Bagi yang tidak mempunyai uang, bahkan perumahan yang sangat tidak layak pun tidak disediakan. Rumah sebagai tempat hidup bagi orang-orang melarat dan seringkali adalah merupakan harta satu-satunya, tidaklah lebih penting dibandingkan properti, apartmen, dan mall bagi orang-orang yang mempunyai uang. Yang tidak kalah gilanya, adalah "tindakan etis" penguasa untuk menggusuri rumah-rumah kumuh dengan alasan keindahan kota. Entah logika macam apa yang mendasari pemikiran sang penguasa bahwa dengan menggusuri rumah orang-orang melarat, maka kemelaratan itu akan hilang.
Merupakan suatu etika yang haram untuk dipertanyakan bahwa atas nama nasionalisme, maka sama sekali tidak benar dan tidak etis untuk melakukan pemberontakan untuk memisahkan diri dari negara. Pemerintah mempunyai hak penuh untuk menumpas setiap gerakan separatis, masyarakat pun seringkali sejalan dengan pemerintah bersama-sama mengutuk gerakan separatis itu. Tetapi apakah orang-orang akan memberontak mengorbankan jiwa jika memang tidak ada alasannya? Apakah kita pernah berusaha untuk mengerti dan mengetahui alasan-alasan di balik pemberontakan mereka? Sebagai sebuah bangsa yang pernah merasakan penjajahan selama berabad-abad, seharusnya kita dapat dengan mudah mengatakan, bahwa eksploitasi hasil alam oleh dan hanya untuk kepentingan pusat pemerintahan (bahkan tanpa mempertimbangkan efek dan timbal balik bagi masyarakat setempat) adalah sebuah 'penjajahan'!
Hal lain lagi, adalah etika yang tidak pernah dipertanyakan bahwa demokrasi merupakan kebenaran tertinggi dari sebuah sistem. Karena itu adalah tidaklah etis untuk menjatuhkan pemimpin tidak dengan jalan demokrasi. Revolusi adalah menyalahi aturan karena tidak demokratis.
Maka kita pertanyakan, apakah demokrasi memberikan jalan bagi kelas proletar untuk berkuasa? Apakah kebijakan-kebijakan pemerintah yang berkuasa selama ini pernah lebih memberatkan diri kepada kelas buruh, tani, dan kaum miskin yang pada kenyataannya merupakan mayoritas dibandingkan dengan para pemilik modal yang selalu mendapatkan keuntungan dari pemerintahan yang berkuasa? Pendidikan kelas buruh, tani, dan kaum miskin yang tidak memadai tidak mungkin membuat mereka mampu menggunakan sistem perwakilan. Dan kenyataannya pendidikan tinggi hanya disediakan bagi orang yang mempunyai uang. Maka sampai kapanpun, di bawah sistem demokrasi yang "etis", kelas buruh, tani, dan kaum miskin hanya dapat menjadi penonton dan korban dari perebutan-perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki uang.
***
Yang telah disebutkan di atas hanyalah beberapa dari hal-hal yang tampak di permukaan. Ada berbagai hal lain, termasuk yang tidak pernah kita sadari, yang menunjukkan sebenarnya sistem nilai dan etika masyarakat kapitalis adalah sama sekali berdasarkan logika para pemilik modal yang berkuasa. Etika mereka hanya menguntungkan mereka dan membenarkan penghisapan dan eksploitasi terhadap kaum proletar, membenarkan penggusuran, penindasan, atas nama keuntungan, kekuasaan, dan kenyamanan hidup pemilik modal.
Marilah kita bersamasama membuka mata dan menjadi sadar! Jangan lagi terjebak oleh etika-etika palsu milik mereka pemilik modal dan penguasa.
25 Januari 2005 12:10
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar