Kamis, 17 Maret 2011

FAKTA DUNIA


 

FAKTA DUNIA

Untuk FAKTA DUNIA kali ini, kami akan membahas dengan mengutip berbagai macam hal dari sebuah buku berjudul "Perjuangan Amungme - Antara Freeport dan Militer" yang ditulis oleh Amiruddin dan Aderito Jesus de Soares. Diterbitkan oleh ELSAM (2003), dicetak dan didistribusikan oleh INSIST Press.


 

"Ah, kalau mau bunuh kami, kumpulkan kami di lapangan terbuka, dan bunuh habis supaya kami jangan hidup dalam situasi masih hidup, tetapi hanya badan dan kulit yang bergerak, jiwa kami sebenarnya sudah mati." - Tom Baenal, Jayapura, 1995 [halaman 70]

Banyak pemikiran, bahwa dengan dibukanya pertambangan di suatu tempat, maka akan diikuti oleh pembangunan infrastruktur yang memenuhi syarat bagi penduduk di sekitar kawasan pertambangan - seperti air bersih, listrik, telepon, dan lain-lain. Juga dipercaya, pembukaan tambang akan menyediakan lapangan pekerjaan dan kesempatan ekonomi bagi mereka.

Hal yang bertentangan dengan pemikiran di atas telah terjadi di Papua Barat (Irian Jaya) setelah Freeport melakukan pertambangan emas dan tembaga di sana. Tanah adat suku-suku asli pedalaman Papua sebagai apa yang mereka sebut "ibu", lembah-lembah yang disucikan sebagai tempat hidup dan penghidupan, dan bahkan puncak-puncak gunung yang dianggap sebagai asal mula keberadaan mereka di dunia, yang mereka sebut "kepala dari ibu", tempat di mana di atasnya para leluhur bersemayam, dan sekaligus tempat yang mereka percayai ke mana mereka akan kembali setelah meninggal - telah dikuasai dan dirusak tanpa ampun.

Sebagai contoh, "Gunung Grasberg pada akhir masa pertambangan akan merupakan lubang raksasa menganga dengan diameter sekitar 2,5 km dengan kedalaman 700 meter. Penggalian gunung Grassberg juga menyebabkan hilangnya vegetasi-vegetasi asli dan hewan yang hidup di sana." [halaman 199-200] Sebuah gunung yang diubah menjadi lubang sebesar itu, tentu membutuhkan suatu tempat untuk menumpuk batuan hasil galian, tentang hal ini; "Timbunan akhir batuan limbah ini akan mencapai ketinggian ratusan meter." [halaman 200] "Pada saat itu danau Wanagon [danau suci masyarakat suku Amungme - salah satu suku pedalaman Papua] akan tertutup batuan limbah setinggi 500 meter (dengan luas area 5,5 km x 2,0 km) dan jelas-jelas akan mengancam keberadaan danau Wanagon di masa yang akan datang." [halaman 204]

Ditambah lagi, "Sejak 1967, saat dimulainya kegiatan penambangan secara resmi, demi pembangunan dan perluasan freeport, suku Amungme dan Kamoro telah kehilangan secara berturut-turut tanah ulayatnya seluas 100.000 hektare. Beberapa tahun kemudian, antara tahun 1983-1985, mereka kembali kehilangan tanah seluas 7.000 hektare untuk pendirian kota Timika. Kemudian, tanah seluas 25.000 hektare kembali "hilang" untuk pendirian kota Kuala Kencana - yang telah diresmikan oleh Presiden Suharto tahun 1997. Lebih mengerikan lagi adalah perpindahtanganan satu juta hektare lahan suku Amungme untuk kepentingan para pendatang yang didatangkan dari luar Papua atas nama program transmigrasi." [halaman 35]

"Persoalan-persoalan baru itu misalnya hilangnya hak ulayat atas tanah, rusaknya sistem sosial-ekonomi, rusaknya lingkungan hidup dan sumber daya alam akibat perubahan ekosistem, termasuk terjadinya berbagai tindak kekerasan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berkepanjangan, ancaman bahan kimia yang membahayakan, serta intimidasi dan stigmatisasi sebagai anggota GPK/OPM." [halaman 3] "Persoalan itu semakin diperberat dengan terjadinya pemindahan paksa pemukiman warga, pemiskinan budaya dan sosial serta disintegrasi kultural." [halaman 3]

"... pada 1990 ketika terjadi penyumbatan di Sungai Aijkwa yang disebabkan oleh menumpuknya kayu gelondongan dan tailing (pasir sisa operasi penambangan), Freeport hanya merogoh kocek sebesar 5.000 dollar AS. Upaya ini sama sekali tidak memperbaiki kondisi lingkungan dan perekonomian masyarakat setempat yang sangat tergantung pada Sungai Aijkwa." [halaman 44] "Di lain pihak, Freeport lebih memilih untuk memberikan uang jaminan terhadap pinjaman 673 juta dollar AS antara 1991 sampai 1997 kepada tiga pengusaha Indonesia yang sangat dekat dengan Soeharto ketimbang memperbaiki kehidupan suku Papua yang kehidupannya dari hari ke hari terus bertambah miskin." [halaman 45]

"Bahkan, beberapa kampung telah dipindahkan karena telah tenggelam akibat tailing, seperti kampung Koperapoka dan Nawaripi." [halaman 54]

"Kontrak karya tahun 1967 (KK I) diperbarui dengan Kontrak Karya II pada Desember 1991. Pada KK II, luas konsesi bertambah menjadi 2,6 juta hektare, meliputi seluruh gunung hingga turun ke lembah Mimika dan sampai ke pantai Laut Arafuru. Wilayah tersebut merupakan wilayah hunian suku Kamoro yang membentang dari Pegunungan Weland di sebelah barat, termasuk Pegunungan Memberamo sampai ke Pegunungan Bintang di sebelah timur yang berbatasan dengan PNG." [halaman 55]

"Bahkan, tahun 1997, ribuan warga Papua tewas akibat kelaparan di bumi mereka yang kaya. Ironisnya, bencana kelaparan ini terjadi hanya setahun setelah Freeport tercatat sebagai salah satu pembayar pajak terbesar di Indonesia." [halaman 60]

"Sejak tahun 1972 sampai 1997 telah dibuang 252 juta ton tailing dimana sebanyak 114 juta ton telah mengendap di Daerah Pengendapan Aijkwa, 8 juta ton mengendap di estuaria, dan 131 juta ton berada di Laut Arafura." [halaman 206] "Akibat pembuangan tailing ini diperkirakan 110 km2 area estuari akan terkontaminasi untuk 35 tahun, dan 20-40 km bentang sungai Aijkwa akan beracun untuk ikan dan manusia selama 15 tahun. Selain itu pembuangan tailing ke DPA telah mengorbankan 133 km2 lahan yang subur milik masyarakat adat." [halaman 206]

"Dengan menggunakan data satelit inderaja Landsat (land satellite) dengan lebar rekaman 185 km persegi, diperoleh temuan-temuan sebagai berikut: 1. Total luas wilayah daratan yang tercemar tailing menurut citra Landsat-TM tahun 2000 adalah 35.820 ha, ... 2. ... luas wilayah laut yang tercemar tailing meliputi muara Sungai Mawati hingga muara Sungai Kamoro, yaitu seluas 84.158 ha. ... 4. Sebaran tailing sudah memasuki kawasan Taman Nasional Lorentz melalui Sungai Mawati dan Sungai Otokwa." [halaman 208]

"Kenyataannya, ketika Freeport beroperasi, penduduk asli tersisih. Masyarakat kehilangan hak atas tanah tumpah darah. Orang-orang tua menganggap Freeport mengingkar janji dan menempatkan mereka di WC perusahaan." - Tom Baenal [halaman 124]

***

Papua memang luar biasa kaya!

"Gunung bijih itu bukan 75 meter tingginya, melainkan 179 meter. Lebih dari itu, Wilson juga memperkirakan, kandungan tembaga dari Ertsberg bahkan bisa ditemukan hingga kedalaman 360 meter (George A. Mealey, 1996)." [halaman 32]

"Di dalam areal seluas 2,6 juta hektare itulah terkandung 51,8% potensi emas yang diketahui ada di seluruh Indonesia. Cadangan emas di Indonesia seluruhnya diperhitungkan sebesar 169 juta ounces. Berarti, kandungan emas Grasberg diperkirakan sekitar 82,362 ounces. Jumlah tersebut belum termasuk kandungan tembaga dan peraknya. Karena, dari satu ton bijih tembaga akan diperoleh sekitar 13 kg konsentrat tembaga, 1,47 gram emas, dan 4,04 gram perak." [halaman40]

Tetapi segala kekayaan itu sama sekali tidak dimiliki oleh masyarakat Papua.

"Kini, akumulasi modal yang berhasil ditumpuk Freeport sudah mencapai tiga miliar dollar AS." [halaman 39]

"..., Freeport mendapatkan sekitar 10-15 gram emas per ton konsentrat. Jadi, pada 1992, emas yang diperoleh Freeport diperkirakan berkisar antara 4.206 sampai 6.300 kilogram." [halaman 40]

"Untuk periode 1987 hingga 1997, hasil produksi rata-rata per tahun Freeport adalah sebagai berikut: tembaga 670 juta pound, emas 750 ribu ounces, dan perak 1,3 juta ounces." [halaman 42]

"Pada awal 1995, jumlah produksi Freeport sebesar 100.000 ton konsentrat tembaga per hari. Jumlah tersebut ditargetkan meningkat hingga mencapai 115 ribu ton pada akhir 1995." [halaman 45]

"Pada 1998 dan 1999, Freeport berencana meningkatkan produksi per hari menjadi 330.000 ton konsentrat. Peningkatan produksi ini telah disetujui oleh pemerintah Indonesia." [halaman 45]

"Berdasarkan penyelidikan Business News, 22 Januari 1997, Freeport kini menguasai areal konsesi penambangan setara dengan 40 kali luas Kota Jakarta. ... Nilainya diperkirakan mencapai 120 triliun rupiah." [halaman 45]

"Berdasarkan data majalah Eksekutif, pada Maret 1991, tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Freeport berjumlah 16.000 orang, sedangkan tenaga kerja asing berjumlah 1.425 orang. Pada masa awal Freeport berproduksi pada 1973, jumlah tenaga kerja Indonesia dari luar Papua adalah 960 orang, sedangkan orang Papua sendiri, mayoritas berasal dari suku Amungme, jumlahnya hanya 40 orang." [halaman 37]

"Untuk penduduk setempat, keadaan mereka lebih parah lagi. Mereka hanya mendapat jatah untuk pekerjaan kasar yang menggunakan otot, seperti membersihkan lahan untuk lapangan terbang atau jalan-jalan utama. Upahnya pun sangat rendah, hanya Rp40 per jam atau kadang-kadang hanya dibayar dengan barang kelontong seperti kornet, rokok, dan tembakau. Pembayaran dalam bentuk barang ini, menurut Garnaut, sesuai dengan permintaan pemerintah Indonesia sendiri." [halaman 38]

Bukan juga untuk Indonesia.

"Emas itu kemudian dijual di bursa logam London (London Metal Exchange), per kilogramnya berharga 12,7 ribu dollar AS. Sehingga, total penjualan emas yang didapat Freeport kira-kira sebesar 53,5 juta dollar AS. Sementara, pemerintah Indonesia mendapatkan PPN-nya saja sebesar 5,3 juta dollar AS." [halaman 40]

"[Multinational Monitor:] Freeport telah mengoloni Papua, di mana ia menguras, mengeksplorasi dan mengeksploitasi sekitar 2,6 juta hektare lahan, mengoperasikan dan mempunyai hak atas tambang emas terbesar di dunia, dan tambang tembaga terbesar ketiga di dunia. Di lain pihak, pemerintah Indonesia yang masih di bawah kediktatoran Suharto hanya mengontrol Freeport dengan mendapatkan pembayaran pajak sebesar sembilan persen." [halaman 50]

"Selama ini Freeport telah melakukan aktivitas yang merusak struktur kehidupan masyarakat Papua. Namun, tindakan perusakan itu senantiasa dibela dan ditutupi oleh pemerintah Indonesia. Sebagai contoh, saat Freeport bertengkar dengan OPIC (Overseas Private Investment Corporation), karena telah mencemari sungai di Papua dengan tailing yang mengandung asam dan racun, para pejabat Indonesia justru terlihat mendukung Freeport." [halaman 51]

***

Tidak, mereka tidak diam saja diperlakukan seperti itu:

"Misalnya, pada Maret 1996, ratusan warga suku Amungme melakukan perlawanan di Timika dengan melakukan demonstrasi." [halaman 53]

"Pada 1973, meletus perkelahian massal antara suku Amungme dan para pekerja Freeport yang datang dari luar daerah. Para pekerja itu dikabarkan sering mengejek warga Amungme. Dalam perkelahian itu, empat orang pekerja Freeport tewas dan puluhan warga Amungme luka-luka. Perkelahian itu terjadi pada tahun saat Presiden Soeharto meresmikan ekspor perdana Freeport dan memberikan nama Tembagapura pada permukiman karkawan Freeport. Peristiwa di Tsinga itu dihentikan secara paksa oleh militer dengan memakan korban 40 orang dari suku Amungme." [halaman 74]

"Awal Maret 1996, terjadi peristiwa yang mengejutkan ketika ribuan warga Papua mengepung pertambangan Freeport. Mereka terdiri atas perempuan, lelaki, dan anak-anak yang jumlahnya diperkirakan mencapai 3.000 orang. Dengan bersenjatakan tombak, panah, tongkat, dan batu, warga ingin menyerang para petugas keamanan yang menjaga Freeport." [halaman 67]

"Aksi protes paling besar yang dilakukan suku Amungme terhadap Freeport terjadi tahun 1977. Dalam aksi itu, ratusan orang Amungme merusak berbagai fasilitas yang dimiliki Freeport. Misalnya, mereka memotong pipa penyalur bijih tembaga, membakar gudang, dan melepaskan kran tangki persediaan bahan bakar Freeport dan membakarnya secara bersama-sama." [halaman 78]

"... dilakukan penggusuran besar-besaran mulai dari Pomako sampai ke Mile 50. Freeport juga menghancurkan hutan dan ladang perburuan warga Amungme dan Kamoro. Tindakan itu segera memunculkan aksi protes dari para ibu dengan melakukan aksi duduk di areal yang akan dijadikan perumahan karyawan Freeport. Aksi duduk yang dipimpin oleh Mama Yosefa ini berlangsung selama dua hari." [halaman 80]

"Pada 1992, kembali terjadi protes warga Amungme dan kali ini kejadiannya berlangsung di bandara Timika. Ketika itu, ibu-ibu yang dipimpin oleh Mama Yosefa memprotes pembangunan Hotel Sheraton dan Bandara Timika. Protes itu dilakukan dengan membuat api unggun besar di tengah-tengah bandara. Akibatnya, selama sehari penuh pesawat tidak dapat mendarat. Setelah itu, ibu-ibu secara bersama-sama hendak membakar pesawat yang ada di bandara Timika sebagai tanda protes mereka. Aksi ini berhasil diredam oleh aparat dan Pemda dengan kembali memberikan janji-janji perbaikan pada masyarakat." [halaman 81]

"Aksi protes suku Amungme kembali memuncak tahun 1996 ketika meletus kerusuhan besar-besaran selama tiga hari di Tembagapura, tepatnya di bulan Maret. Kerusuhan di Tembagapura ini dalam beberapa jam kemudian menjalar ke Timika. Akibat aksi itu, selama empat hari proses produksi Freeport terhenti. Menurut para penduduk Timika dan Tembagapura, terhentinya proses produksi Freeport tidak pernah terjadi sebelumnya. Begitu juga dengan skala kerusuhan yang terjadi tanggal 10, 11, dan 12 Maret 1996 itu. Kerusuhan ini merupakan kerusuhan terbesar dari yang pernah ada." [halaman 82]

"Kita berjuang karena hak kita tidak diakui, sumber alam kita telah dikuras, sementara kehidupan kita juga sudah diambil pula." [halaman 68]

***

Freeport dan pemerintah Indonesia pun tidak diam saja.

"... sejak tahun 1996 penjagaan terhadap perusahaan Freeport oleh sekitar 2.000 personel dari kesatuan Kopassus dan Kostrad langsung di bawah perintah Presiden Soeharto. Imbalannya, Freeport memberikan dana kepada Soeharto sebesar 40 juta dollar AS. Freeport mau melakukan hal itu agar situasi di Papua stabil dan mereka dapat mengeduk emas lebih banyak lagi demi target mendapatkan superprofit." [halaman 64]

"Sebaliknya bagi pemerintah, Freeport juga dianggap sebagai proyek vital nasional yang tidak boleh diganggu oleh orang-orang Papua. Konsekuensinya, jika orang Papua mengganggu atau menuntut Freeport, aparat akan melakukan tindakan." [halaman 64]

"Untuk menghentikan rangkaian protes itu, pada Juni 1977, TNI-AD membombardir Desa Akimuga yang mengakibatkan terbunuhnya sekitar 30 orang Amungme." [halaman 61]

"Tindakan TNI-AD itu, pada 23 Juli 1977 dibalas oleh orang-orang Amungme. Mereka menghancurkan pipa-pipa Freeport dan fasilitas lainnya yang mengakibatkan kerugian sekitar enam hingga sebelas juta dollar AS. Oleh karena itu, pada Agustus 1977, sekali lagi TNI-AD membombardir Desa Akimuga." [halaman 61]

"Pada periode ini [sekitar Maret 1983], Jenderal Moerdani menurunkan 100 anggota Kopassus untuk melindungi Freeport. Satu tahun berikutnya, untuk lebih menjaga kepentingan Freeport, Jenderal Moerdani menambah personel Kopassus dengan jumlah 200 orang lagi atas permintaan Freeport. ... Sejak itu, operasi militer terus ditingkatkan, bahkan hingga tahun 1995 pasukan Kopassus dan Kostrad jumlahnya sudah mencapai 1.600 personel dengan target untuk mengejar orang-orang Papua yang anti Freeport. Orang-orang yang anti itu diberi cap GPK-OPM." [halaman 62]

"Contoh intimidasi militer terhadap orang-orang Amungme adalah perampasan dokumen mengenai dukungan dari 2000 warga berbagai suku atas gugatan yang dilakukan LEMASA terhadap Freeport tanggal 12 Agustus 1996." [halaman 63]

"Berdasarkan penelitian Eyal Press, orang Papua yang dibunuh secara brutal oleh militer selama 10 tahun terakhir [penelitian tahun 1995], jumlahnya sudah mencapai 150.000 orang. Semua itu bisa dilaksanakan dengan lancar karena mendapatkan fasilitas dari Freeport." [halaman 65]

"Lalu, untuk mengalihkan pertentangan antara orang-orang Papua yang sudah tidak punya apa-apa dan perusahaan yang memiliki modal ini, pihak TNI dapat menyusun provokasi dengan mengibarkan bendera OPM. Hal itu dilakukan untuk membunuh orang-orang Papua yang menentang Freeport, sementara itu TNI mendapatkan imbalan uang dari Freeport." [halaman 69]

"Anehnya, warga yang mempertahankan tanah miliknya malah dituduh dan dikatakan menyerobot tanah milik negara yang pembebasannya dilakukan secara paksa. Bahkan warga didiskreditkan dengan cara menuduh warga telah meminta ganti rugi berkali-kali." [halaman 78]

"... pada tanggal 31 Mei 1995, pasukan Yon 752 Paniai menyerbu jemaat yang sedang berdoa di Kampung Hoea (sekitar 90 km arah ke timur kota Tembagapura). Dalam penyerbuan itu, kembali terjadi penembakan terhadap warga sipil dan perusakan rumah-rumah penduduk oleh pasukan yang berkedudukan di pos Jila. Dalam aksi ini, 11 orang warga sipil menjadi korban." [halaman 93]

"Tindakan brutal aparat lainnya adalah penculikan dan pengepungan terhadap warga sipil yang disangka oleh aparat mempunyai hubungan keluarga dengan gerilyawan OPM. Salah satunya adalah keluarga Nawaral Deik-In. Menurut istrinya, pada 6 Oktober 1994, pukul 23.00 WIT, aparat dengan senjata lengkap mendatangi rumah mereka dengan cara mendobrak pintu. Kedatangan aparat pada saat itu bertujuan mencari suaminya yang bernama Sebastianus Kwalik. Lalu, Sebastianus Kwalik diambil oleh aparat bersama ketiga adiknya, yaitu Romulus K., Marius K., dan Hosea K.. Keempat orang tersebut digelandang ke mobil yang telah disiapkan sebelumnya. Mereka semua ditahan di kontainer yang dijadikan penjara di pos tentara Koperapoka, Timika. Menurut keterangan istrinya, di dalam kontainer itu telah berisi banyak orang yang juga mengalami nasib serupa." [halaman 95]

"Menurut keterangan kedua istri Sebastianus Kwalik, mereka yang ditangkap lalu ditahan dalam kontainer dengan borgol tetap melekat di kaki dan tangannya. Selain itu mereka juga mengalami penyiksaan. Setelah seminggu ditahan, semua tahanan di pos Koperapoka itu hilang dan para istri mereka tak bisa lagi menemuinya." [halaman 95]

"Tindakan aparat yang paling kasar adalah penyiksaan yang dilakukan terhadap orang-orang yang mereka tangkap. Semua korban menyatakan, selama mereka ditangkap, mereka diperlakukan secara tak manusiawi. Di antaranya, mereka dipaksa mengaku dan menandatangani surat berita acara pemeriksaan (BAP). Jika menolak, mereka diancam akan dibunuh. Tindakan tersebut dilakukan secara simultan dan dilakukan tanpa henti selama beberapa malam. Tanpa istirahat, korban diperiksa dan diminta mengaku sebagai orang OPM. Bentuk penyiksaan fisik yang terjadi selama ditahan - dalam beberapa kontainer di pos militer atau polisi - berupa tendangan ke arah ulu hati dan perut, kepala diinjak, pemukulan di kepala dan badan, menikam bahu dengan pisau, dilempar dengan batu, atau dipaksa memakai penjepit besi di belakang lutut. Bentuk siksaan lain juga dilakukan dengan menginjak jari-jari tangan dan dipukuli dengan bilah rotan." [halaman 97]

"Selain siksaan fisik, tak jarang para tahanan dipaksa melakukan kerja paksa dan mengerjakan beberapa hal yang tak bermartabat. Misalnya, jika disuruh istirahat, para korban dibiarkan tidur tanpa alas di antara kotoran dan genangan air di dalam kontainer tempat mereka ditahan. Semua tindakan tak manusiawi dan pelanggaran hak asasi manusia itu terjadi di areal konsesi tambang Freeport atau tepatnya di beberapa fasilitas milik Freeport, seperti kontainer dan bengkel serta pos keamanan Freeport. Akibat perlakuan aparat itu, sebagian dari korban ada yang meninggal akibat patah leher, kepala bocor, atau muka lebam membiru serta patah tulang." [halaman 97]

"Dampak operasi yang dilakukan sepanjang bulan Desember 1996 sampai Oktober 1997 itu adalah jatuhnya 16 orang korban, 13 orang diantaranya di Desa Bela dan Alama, dua orang di Jila dan seorang di Mapenduma. Rinciannya, 11 orang tewas ditembak, dua orang dinyatakan hilang, dan tiga orang mengalami luka-luka serius. Selain itu, aparat juga telah merusak 13 tempat ibadah, beberapa rumah, kebun, dan hewan piaraan warga." [halaman 99]

Setiap aksi protes masyarakat Papua akan dicap sebagai GPK/OPM, dan setiap penindasan yang dilakukan aparat akan dibenarkan karena berdasarkan alasan penindasan itu dilakukan terhadap gerakan GPK/OPM. "Tak hanya itu, orang yang menyuarakan ketidakadilan yang menimpa suku Amungme juga selalu dicap oleh aparat sebagai orang-orang yang tidak mengerti persoalan Irian Jaya dan dikatakan sebagai anti-pembangunan." [halaman 98]

"Keempat, di dalam kontrak karya kedua tahun 1991, Freeport secara eksplisit memasukkan dana bagi tentara Indonesia untuk melakukan pengamanan terhadap suku-suku di Papua yang menentang kehadiran Freeport. Dokumen yang dikeluarkan oleh orang dalam perusahaan memperlihatkan pengeluaran Freeport untuk berbagai keperluan markas militer dan polisi, fasilitas rekreasi, pos jaga, barak, dan persediaan amunisi, hampir mencapai 10 juta dollar AS. Meski, hal ini kemudian dibantah Freeport dengan mengatakan bahwa mereka sekadar memberikan uang makan, uang transportasi, dan akomodasi saja." [halaman 50]

Daftar aksi-aksi protes masyarakat Papua (bahkan masyarakat Papua sempat melakukan tuntutan hukum terhadap induk perusahaan Freeport McMoRan Copper & Gold, Inc. ke Amerika Serikat), dan penindasan-penindasan yang terjadi atas kehidupan mereka masih dapat terus diperpanjang.

***

"Perusahaan itu telah mengambil tanah kita. Bahkan, gunung keramat yang kita anggap sebagai ibu kami pun telah diacak-acak oleh mereka, dan mereka tidak merasa sedikit pun bersalah. Lingkungan kita sudah tinggal puing-puing dan hutan serta sungai kita telah tercemar racun. Lebih lanjut, kita tak bisa diam. Kita protes dan kita marah, tetapi kita ditangkap, dipukul, dan dimasukkan ke dalam kontainer, kita disiksa, bahkan dibunuh." - (Pidato Tom Baenal, 23 Mei 19?? di Universitas Loyola) [halaman 66]

***


 

KOMENTAR KAMI:

Dari begitu banyak fakta-fakta yang diuraikan di atas, kita bisa melihat, bahwa baik para pemilik modal maupun pemerintah, tidaklah memperdulikan rakyat, apalagi bertujuan untuk menyejahterakannya. Yang mereka inginkan hanyalah PROFIT. Tidak lebih dari itu. Maka untuk mendapatkan profit yang sebesar-besar-nya, apapun akan dilakukan; fitnah, adu-domba, ancaman, teror, penangkapan, penculikan, pe-nyiksaan, bahkan pembunuhan. Kawan! Sekali lagi kami mengajak untuk menyadari:

Bahwa pemilik modal dan pemerintah memperdulikan kaum Buruh, Tani, dan masya-rakat melarat adalah OMONG KOSONG!! Kaum Buruh, Tani, dan masyarakat melarat hanyalah objek penghisapan, eksploitasi, dan penindasan demi profit bagi para pemilik modal dan pemerintah!

26 Januari 2005 16:20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar