Donny Pradana: Permasalahan Mendasar Petani Tidak Diselesaikan oleh Pemerintah
Asalamu'alaikum Warrahmullahi Wabarakatuh, kita bertemu kembali dalam Perspektif Baru. Alam, beberap hari belakangan ini, belahan Jawa dan sebagian wilayah Indonesia lainnya sudah merasakan hujan kembali. Tapi ini adalah merupakan hujan pertama setelah sekian bulan lamanya kita mengalami kekeringan. Tentu anda menebak-nebak kenapa saya berbicara mengenai hujan, persoalannya adalah selama hujan belum turun maka kekeringan yang terjadi menyebabkan petani-petani kita mengalami keresahan.
Di beberapa wilayah di Jawa Tengah, Jawa Timur atau beberapa daerah di Indonesia itu betul-betul mengalami kekurangan air. Panen menjadi gagal kemudian proses pertanian menjadi sangat terganggu. Sayang, perhatian pemerintah untuk persoalan ini sangat kecil. Persoalan ini merupakan salah satu dari sekian banyak persoalan yang dihadapi oleh para petani Indonesia. Padahal kita tahu bahwa petani kesulitan untuk memperoleh bibit, pupuk, akses terhadap pasar, dan kemampuan teknologi yang rendah. Belum lagi keberpihakan terhadap petani, misalnya pemberian subsidi dan kebijakan ekonomi secara umum, yang belum terlihat.
Kali ini, kita memberikan pencerahan mengenai betapa pentingnya eksistensi petani. Karena tanpa petani, pilar ekonomi bangsa ini tidak akan cukup kuat. Saya akan mengajak anda untuk berbincang dengan Donny Pradana. Dia adalah Ketua Serikat Tani Nasional (STN), sebuah organisasi yang memperjuangkan hak-hak petani kemudian berupaya memberikan pemberdayaan, serta penguatan terhadap masyarakat tani.
Di Perspektif Baru bersama sahabat anda Ruddy K Gobel; Donny, saya ingin memulai dengan pertanyaan yang sangat mendasar. Apa persoalan utama dari sekian banyak persoalan yang ada di pertanian kita?
Persoalan utama pertanian di Indonesia adalah persoalan ketidaktersediaan tanah yang cukup, ketidaktersediaan teknologi dan minimnya modal yang masuk di sektor pertanian. Tiga hal penting tadi kemudian menjadi landasan bahwa kesejahteraan petani, masyarakat desa tidak akan pernah bisa tercapai. Alih teknologi, proses akumulasi modal, semuanya terkonsentrasi di perkotaan-perkotaan besar.
Terjadi kesenjangan, yang beberapa ahli sempat kemukakan tentang kesenjangan desa dan kota. Kemudian berimplikasi pada urbanisasi yang semakin lama semakin meningkat. Proses produksi pedesaan semakin lama semakin ditinggalkan sehingga pada akibatnya seperti saat ini. Pertanian tidak pernah berkembang sebagaimana mestinya sehingga menciptakan ketergantungan-ketergantungan kepada produksi-produksi pertanian asing. Tidak bisa diciptakan swasembada, tidak bisa diciptakan ketahanan pangan dalam negeri. Ketiga pokok persoalan tadi tidak diselesaikan secara mendasar oleh siapapun yang berkuasa; baik pemerintah masa sekarang maupun masa-masa yang lalu.
Sungguh ironis, padahal dari dulu kita selalu mengklaim Indonesia adalah negara agraris. Dan kalau dilihat, negara kita adalah negara yang memiliki wilayah yang luas. Kenapa masalah ini dari dulu tidak pernah terselesaikan? Kita tidak usah bicara tentang ketidaktersediaan tekhnologi dan modal, tapi secara khusus ketidaktersediann lahan?
Ya menarik memang, karena kebijakan pembangunan sejak jaman orde baru seperti itu. Tidak menyandarkan dan tidak melandaskan kepada pembangunan pertanian. Okelah, kalau beberapa waktu yang lalu kita sempat baca tentang tujuan Repelita I sampai V dimana tertulis disitu bahwa pokok pembangunannya adalah sektor pertanian. Tetapi dalam kenyataan lapangan, tidak terjadi. Tidak pernah ada manifestasi terhadap kebijakan-kebijakan itu. Semuanya selalu berputar, termasuk modal dan teknologi, di kota besar. Apalagi soal kepemilikan lahan.
Paska orde baru ada persoalan baru yang sedemikian eksesif, dalam arti bahwa kepemilikan lahan yang selama ini dikuasai oleh masyarakat atau rakyat banyak dicaplok, disita, diambil alih oleh negara demi pembangunan. Tapi justru kemudian hasil-hasil pengolahan lahan produktif tersebut tidak pernah untuk rakyat sekitarnya, Justru masuk ke segelintir kalangan elit dan masyarakat perkotaan belaka.
Masalah lahan atau tanah rupanya begitu rumit dan begitu sulit. Saya juga masih ingat persis ketika kita belajar tentang Repelita dimana berbicara tentang titik pokok pembangunan adalah pada sektor pertanian. Juga kemudian menitikberatkan pada swasembada. Saya ingin mengkonfirmasikan kepada anda, benarkan Indonesia pernah mengalami swasembada pangan?
Ya memang pada awal- awal Soeharto atau rezim orde baru mengenalkan tentang revolusi hijau. Dalam hal ini manifestasi dan implementasi di lapangan dilakukan dalam bentuk intensifikasi pertanian. Bagaimana memaksimalkan produksi pertanian pada lahan-lahan sempit, misalkan dengan cara intensif memberikan pupuk, memberikan bibit- bibit hibrida, pengembangan teknologi pada beberapa macam varietas-varietas tahan hama atau wereng.
Pada 1-2 tahun cukup berhasil memang. Bahkan tahun 80-an Indonesia pernah dianugerahi oleh FAO sebagai negara yang cukup sukses dalam swasembada pangan, tetapi dampak dan implikasi revolusi hijau baru akan dirasakan 10 kemudian. Lahan menjadi tidak efektif dan jenuh terhadap kecenderungan pupuk dan lainnya. Pupuk yang dipakai pupuk kimia bukan organik. Kandungan unsur hara tanah makin lama makin turun. Akhirnya , dosis penggunaan pupuk semakin lama semakin meningkat dan varietas tahan hama atau tahan wereng semakin lama harus semakin diperbaharui. Karena resistensi hama penyakit setelah dibasmi pestisida semakin lama semakin kuat, karena berevolusi. Tahun-tahun pasca revolusi hijau sangat merugikan perani. Biaya yang dikeluarkan petani untuk pengelolaan menjadi lebih besar, hasil yang mereka dapatkan juga tidak setimpal. Ini membuktikan skenario revolusi hijau sangat tidak populis baik pada masyarakat pedesaan secara umum ataupun dalam konsepsi ekologi (lingkungan). Konsepsi pertanian yang mempertahankan dan melanjutkan lingkungan secara alami.
Apakah proses pembangunan ekonomi yang selama ini yang banyak menitikberatkan pada kota dan industri besar merupakan salah satu faktor terserapnya sumber daya dan dana yang ada di pertanian ke industri? Pada prinsipnya adalah salah kalau kita menolak industrialisasi, pertanian tetap harus dimajukan dalam format industrialisasi pertanian. Tapi konsepsi industrialisasi pertanian bukan lantas dimaknai dengan industrialisasi seperti sekarang yang diemban oleh MOSANTO atau PT Lonsum. Model demikian tidak membuka peluang partisipasi warga dan masyarakat desa dalam industrialisasi. Pembangunan industri pedesaan harus dilihat sebagi suatu skenario besar , bagaimana tanah dikuasai dan diakses langsung oleh masyarakat desa. Kemudian teknologi dikuasai dan dapat diakses langsung sehingga pengelolaannya dilakukan sendiri oleh masyarakat desa. Kemudian pengelolaan-pengelolaan industri pertanian tersebut tetap harus membutuhkan satu skenario bahwa industrialisasi dan modernisasi ini tidak bisa dilepaskan dari perkembangan di kota. Jadi pada era mendatang industrialisasi pertanian sudah tidak lagi berupa dikotomi antara desa dan kota. Proses industrialisasi di desa sektor pertanian yang meningkatkan masyarakat di desa justru diharapkan harus mampu memaksimalkan tenaga produktif di desa. Jika ini bisa dijawab tidak akan ada lagi persoalan-persoalan tentang urbanisasi atau persoalan bagaimana masyarakat desa berlomba-lomba mencari pekerjaan di kota. Karena di desa sendiri menciptakan lapangan pekerjaan, menciptakan industrialisasi sendiri, menciptakan kotanya sendiri, dan menciptakan lapangan pekerjaan, teknologi, modalnya demi keberlansungan desa itu sendiri. Menyerahkan akses atau kepemilikan tanah pada masyarakat dan menyerahkan akses modal juga kepada mereka dan juga pengelolaan teknologi, ini satu ide yang sangat bagus. Tapi teknisnya seperti apa? Tidak mungkin satu kelompok, satu industri atau pemerintah menyerahkan begitu saja. Mekanisme apa yang bisa dilakukan? Jawabannya hanya satu, bahwa segera dibangun organisasi-organisasi petani, atau secara lebih luas adalah dewan masyarakat lokal.
Apakah dewan masyarakat desa A, atau desa B yang semuanya mempunyai fungsi-fungsi eksekutif dan legislatif secara ekonomi politik di teritorialnya masing-masing. Legislatif untuk mengakomodasi partisipasi warga, misalnya dalam pengambilan suatu kebijakan atau keputusan di daerah tersebut. Eksekutif dalam makna mereka tidak hanya berpikir tentang bagaimana membuat aturan-aturan di desa atau di teritori tersebut. Tapi juga bersama-sama melibatkan seluruh masyarakat mewujudkan dan mengemban manivestasi dan implementasi dari kebijakan-kebijakan tersebut. Pemikir sekaligus pelaku. Dewan masyarakat harus berfungsi seperti itu. Maka mulai dari teknologi, modal, sumber daya semuanya dikelola secara bagus oleh dewan masyarakat desa ini, demi mencapai kemajuan bersama masyarakat desa. Sebenarnya konsepsi ini tidak semua baru, sudah berpuluh-puluh tahun yang lalu dikembangkan oleh nenek moyang kita atau masyarakat adat di beberapa propinsi seperti Sulawesi Tengah atau di Papua. Konsepsi-konsepsi dewan masyarakat adat ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan dewan masyarakat desa, bahwa kemudian pengelolaan suatu sumber daya di satu teritorial wilayah desa, kampung atau apapun, dibicarakan secara bersama-sama rembukan, atau ririungan. Musyawarah desa menghasilkan suatu keputusan konstruktif demi perkembangan dan kemajuan desa.
Kalau begitu peran pemerintah apa? Padahal kita tahu pemerintah sekarang sedang melakukan desentralisasi artinya berusaha untuk memindahkan sumber-sumber daya kembali ke daerah. Dan kita tahu, di daerah-daerah dinas pertanian proyeknya cukup banyak. Kita juga mengenal mekanisme pengumpulan dana dan pengerahan pemberdayaan masyarakat melalui koperasi, bagaimana peran kedua hal ini?. Yang pertama harus ada good will dari pemerintah. Betul-betul menempatkan pembangunan bidang pertanian ini sebagai prioritas utama Indonesia untuk keluar dari krisis. Saya pikir itu yang sampai sekarang belum tercetus dan belum ada pada skenario pemerintah. Ternyata ide pembangunan untuk pertanian hanya sebatas lip service. Sebatas tertulis pada perundangan atau rencana-rencana pembangunan jangka panjang dan tidak termanifestasikan dalam bentuk yang konkrit. Bentuk kontriknya adalah semaksimal mungkin pemerintah harus menjadi fasilitator untuk masuknya teknologi pada masyarakat desa, masuknya modal kepada masyarakat desa dan ini harus punya akuntabilitas publik harus bertanggungjawab pada publik. Dihindari proses korupsi, kolusi dan nepotisme tentunya.
Kemudian redistribusi ulang tanah, kepemilikan lahan di desa bahkan kalau perlu tidak ada kepemilikan individu terhadap satu lahan. Kepemilikan lahan dikelola secara bersama-sama secara kolektif dalam format industrialisasi pertanian kolektif. Di desa bisa menyerap banyak sekali tenaga kerja, tanah-tanah yang 1/4 hektar dimiliki setiap petani kalau dikumpulkan akan menjadi tanah yang luar biasa luasnya dan akan maksimal hasilnya jika tanahnya lebih luas, teknologinya lebih maju, modalnya cukup. Saya yakin ini akan meningkatkan produktivitas masyarakat desa. Masalah kedua adalah soal peran lembaga pemerintahan, selama ini konsepsi idealnya seperti yang saya katakan tadi, tapi pelaksanaan di lapangan ternyata tidak. Mereka ternyata hanya sekedar mengurusi hal yang sifatnya teknis belaka, misalnya penyuluhan pertanian lapangan. Mereka hanya membantu dalam tatanan yang sangat kurang cukup bagi masyarakat desa seperti bagaimana menanam cabe yang baik, mengatasi kekeringan dengan membuat pompa-pompa air jadi hanya hal-hal yang teknis. Sebenarnya fungsinya akan lebih strategis jika lebih jauh dari itu. Sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah, seharusnya bisa mengajak seluruh masyarakat untuk berembuk bersama dan berdiskusi tentang apa saja yang bisa dilakukan oleh masyarakat di desa itu secara bersama-sama. Lebih sebagai fasilitator, karena eksekutor dan pelaksana lapangan adalah masyarakat itu sendiri. Ketika mereka melakukan apa yang dianggap mereka baik untuk pembangunan ekonomi masyarakat desa, harus diyakini oleh masyarakat bahwa ini harus dikerjakan secara bersama-sama.
Saya ingin coba gali kembali tentang ide redistribusi tanah. Karena tanah secara administratif maupun secara teknis sangat sulit. Kita tahu kasus sengketa tanah, kepemilikan ganda dan lainnya. Secara administratif ini bagaimana caranya, mekanisme cara apa yang bisa dilakukan dengan biaya yang sedikit tapi hasil yang efektif? Sekali lagi ini seharusnya menjadi tanggungjawab pemerintah. Melaksanakan apa yang sering disebut aktivis petani soal land reform. Land reform sendiri sudah mempunyai landasan hukum sejak tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria, dimana antara pasal 1 sampai pasal 13 sebenarnya disebutkan tanah harus mempunyai fungsi sosial. Tanah tidak bisa dimiliki, atau katakanlah, tanah tidak bisa berfungsi sebagai komoditas, tapi harus berfungsi sebagai fungsi sosial dengan memperhatikan kehidupan objektif masyarakat sekitar. Seharusnya harus berpijak pada landasan hukum tersebut (Undang-undang pokok agraria tahun 1960). Tetapi kami rasa, pasca orde baru sampai sekarang tidak pernah ada niatan pemerintah untuk betul-betul melaksanakan Undang-undang tersebut.
Kalau mau ditelaah lebih lanjut, persoalan agraria ini tidak selalu persoalan pertanian dan tanah, juga menyangkut tentang kehutanan, sumber daya mineral yang dikandung di dalam tanah dan menyangkut juga sumber air, jadi sangat luas. Dalam satu hal, tuntutan yang selalu kita desakkan pada pemerintah adalah segera kembali pada undang-undang pokok agraria. Segera kembali pada land reform yang sejati. Kita belajar pada tahun 40 - 50an bahwa waktu itu pelaksanaan land reform bisa dilakukan karena pemerintah punya itikad baik untuk mendirikan Panitia Land Reform Daerah. Pemilik-pemilik tanah yang mempunyai tanah tapi tidak punya fungsi sosial dan kepekaan sosial, dengan aturan panitia land reform daerah, lalu diredistribusi supaya tanah tersebut bisa berdaya guna bagi kesejahteraan masyarakat yang lebih luas. Waktu itu, secara kesejarahan cukup banyak hal yang menghambat dalam pelaksanaan land reform. Di satu sisi dianggap sebagai upaya Partai Komunis Indonesia, tapi di satu sisi adalah keharusan sejarah. Karena dimanapun negara-negara Eropa ataupun Asia, bahkan Amerika dan Australia selalu berangkat dari land reform. Selalu berangkat dari redistribusi tanah yang adil dan merata bagi masyarakatnya. Pengalaman Jepang pasca tahun 1945 setelah dikalahkan sekutu, pemerintahan harus membangun kembali Jepang, untuk melaksanakan land reform harus dikawal tentara sekutu. Oleh karena itu tidak bisa dibuat suatu dikotomi bahwa land reform adalah produknya komunis atau sosialis.
Kapitalisme juga berkepentingan pada land reform. Justru, dengan pembangunan basis industri yang lebih maju di desa maupun dikota harus dilandasi dengan pelaksanaan land reform lebih dahulu. Ada pendapat yang mengatakan, bahwa petani Indonesia itu kurang produktif dibandingkan dengan negara lain, negara yang sektor pertaniaannya sudah maju. Apakah pernyataan itu benar dan kalaupun benar kelemahan secara individu dari petani-petani kita? Jawabannya ada pada tiga hal yang tidak pernah bisa dipenuhi oleh pemerintahan kita demi kesejahteraan petani (yakni tanah, modal dan teknologi). Terkait dengan pembangunan oleh negara-negara lain di luar Indonesia, sangat berjenjamg. Eropa, Amerika dan lainnya justru disuplai besar-besaran subsidi pertaniannya oleh pemerintah. Bahkan di Amerika sendiri hampir 112 % alokasi pendanaanya untuk subsidi bidang pertanian. Sementara di Indonesia sendiri kita melihat justru subsidinya semakin lama semakin berkurang. Misalnya, pupuk yang semakin lama semakin mahal, harga gabah yang semakin lama justru makin murah. Semuanya dalam skenario neo liberalisme yang dimaui oleh pemerintah. Subsidi dianggap menghambat, menghambat efisiensi dan menjadi tidak adil untuk perekonomian. Apalagi dalam suatu skenario ekonomi global, WTO memang ada aturan dimana perspektif pertanian Indonesia dan negara-negara berkembang betul-betul dimatikan. Apalagi kebijakan-kebijakan perjanjian itu sangat tidak menguntungkan bagi petani Indonesia. Dan ini menjadi repot, sekitar tgl 9 - 14 September ini di Cancun - Mexico ada pertemuan tingkat menteri yang membahas tentang WTO produk pertanian. Pertanian negara dunia ketiga sama sekali tidak dibicarakan di situ, dianggap sudah bisa dikooptasi secara menyeluruh oleh WTO sebagai organisasi perdagangan dunia. Maka dalam kesempatan ini, satu poin yang kita sama-sama bersepakat kita dari Serikat Tani Nasional (STN) maupaun kelompok tani yang lain bersepakat untuk produk pertanian keluar dari WTO. Agriculture harus keluar dari perundang-undangan ataupun kesepakatan-kesepakatan dari WTO.
Agak sulit jika berbicara pada tingkat kebijakan. Kita tidak tahu pemerintah agendanya apa dan selama ini keperdulian terhadap petani juga kurang sekali.
Yang ingin saya minta pada Danny untuk memberikan suatu pemahaman pemberdayaan pada masyarakat diluar dari kebijakan. Karena merubah suatu kebijakan butuh perjuangan yang luar biasa. Meskipun secara umum kebijkannya belum menguntungkan, tapi minimal untuk menjadikan petani kita lebih produktif. Saran saya, bangunlah kemandirian ekonomi petani. Dalam arti beberapa hal yang sudah kita coba ujikan dibeberapa basis atau beberapa konstituen kami adalah mencoba menghubungkan secara langsung antara petani dan konsumennya. Misalkan petani bisa memproduksi sayur mayur dengan prasyarat setelah ada kelompok tani atau organisasi petani, dimana selain mengkritisi soal kebijakan tapi juga pada devisi dana usahanya membangun koperasi. Lalu koperasi ini menjadi sentral distribusi sayur mayur, misalnya dari petani setempat kemudian didistribusikan pada konsumen langsung. Kita memanfaatkan jaringan sendiri, baik itu dengan jaringan teman-teman petani atau NGO diperkotaan atau yang berbasis konstituen buruh . Di perkampungan buruh mereka juga memiliki divisi dana usaha yang serupa dan kita lansgung hubungkan antara apa yang dihasilkan petani dengan pemenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat perkotaan.
Jalur distribusi lama, setelah dari petani, ke pengumpul, ke tengkulak, lalu ke agen besar , ke pasar, kemudian ke pedagang kecil. Jalur distribusi ala kapitalisme yang berbelit-belit ini yang akan kita potong, ini menjadi satu pelajaran berharga bagi kita bahwa sebenarnya kita tidak memerlukan jalur distribusi seperti itu. Yang untung orang-orang yang tidak bekerja sebagaimana mestinya.
__________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar